Minimalkan Dampak Bencana Lewat Data

Admin RB BPS Pusat | 10th February, 2017

image source : Freepik

Desember 2016, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan gempa berskala 6,5 richter di Kabupaten Pidie Jaya yang menewaskan tak kurang dari 100 orang, mengingatkan pada tsunami dahsyat di Aceh tahun 2004. Posisi Indonesia yang terletak di jalur pertemuan lempeng Asia dan Australia membuat Aceh rawan bencana. Untuk itu, mitigasi bencana menjadi sangat penting agar dampak bencana dapat diminimalisir.

Di sinilah peran data dan statistik bencana diperlukan agar mitigasi bencana dapat dilakukan secara efektif dan tepat sasaran. Pusat Kajian Statistik Sosial (PKSS) STIS mengangkat tema ini dalam International Workshop on Disaster Statistics (IWoDS) di Auditorium STIS, 15 Desember 2016 lalu. Narasumbernya berasal dari BPS, International Research Institute of Disaster Science, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan dari PKSS STIS.

 

Sumber Utama, Podes dan Susenas

M. Sairi Hasbullah, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS yang menjadi narasumber mengingatkan bahwa pembangunan di era Sustainable Development Goals menitikberatkan pada kelompok rentan. Dalam isu kebencanaan, kelompok rentan adalah kelompok yang gampang terancam hal-hal terkait bencana alam seperti penduduk miskin, lansia, balita, dan penderita cacat.

“Tidak mungkin kebijakan mitigasi bencana yang efektif dapat dibuat tanpa didukung data statistik yang baik,” jelasnya bersemangat. Lebih lanjut Sairi mengatakan BPS memiliki dua sumber data utama untuk isu bencana, yaitu data Potensi Desa (Podes) yang biasanya dilakukan 3 kali dalam 10 tahun dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul Ketahanan Sosial yang dikumpulkan setiap 3 tahun sekali.

Podes mengumpulkan beragam data terkait bencana misalnya: desa yang mengalami bencana dalam 3 tahun terakhir, upaya antisipasi dan mitigasi bencana yang sudah dilakukan, kerusakan lingkungan akibat bencana, sumber polusi lingkungan, ketersediaan infrastruktur kesehatan dan fasilitas komunikasi, dan lain sebagainya. Dari data Podes 2014 diketahui bencana yang paling banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia adalah banjir. Ada 16.830 desa terkena banjir, terbanyak di Provinsi Aceh (1.649 desa). Sementara itu, sebanyak 5.942 desa sudah memiliki early warning system. Masih terbilang sedikit karena artinya hanya sekitar 7,2 persen dari total jumlah desa yang ada sebanyak 82.190 desa. “Silahkan (stakeholder, red) pakai data ini untuk dipetakan lebih rinci lagi. Sehingga kita tahu persis kondisi dan kesiapan desa-desa di Indonesia ketika bencana datang,” ujar Sairi.  

Selain data Podes yang menggunakan pendekatan kewilayahan, ada data Susenas dengan pendekatan rumah tangga. Data dan informasi yang tercakup seperti seberapa banyak rumah tangga yang pernah mengalami bencana alam, jenis bencana alam yang dialami, apakah rumah tangga mendengar peringatan bencana, apakah ada trauma setelah bencana, dan lain sebagainya. Kedua sumber data BPS tersebut dapat diperkaya dengan data sekunder lainnya dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau stakeholder lainnya sebagai dasar program mitigasi bencana. 

Dari data Susenas Modul Ketahanan Sosial 2014 diketahui sebanyak 16,87 persen rumah tangga mengalami bencana alam. Dari jumlah tersebut ternyata 29,87 persen rumah tangga mengalami trauma dari bencana yang dialami. Terdapat 16,66 persen rumah tangga sudah mengetahui bagaimana cara menyelamatkan diri dari bencana alam. Sementara Yogyakarta menjadi daerah di Indonesia yang paling baik dalam penanggulangan bencana alam karena sebanyak 84,33 persen rumah tangga aware terhadap bencana alam.

Masih dari data Susenas, hanya 9,7 persen rumah tangga mengetahui peringatan bencana, bahkan hanya 1,2 persen rumah tangga yang pernah mengikuti pelatihan tentang bencana alam. Data dan statistik menunjukkan bahwa upaya pemerintah maupun stakeholder terkait antisipasi bencana masih sangat terbatas. Tetapi dari sisi lain, Indonesia berpotensi kuat mampu menghadapi bencana alam dengan baik. “Ini masih sangat memungkinan karena 82 persen masyarakat memiliki kepercayaan yang tinggi kepada aparat desa. Kemudian, 92 persen masyarakat masih sangat percaya terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan-pimpinan agama di desa. Ini dapat menjadi modal sosial yang baik sekali di Indonesia,” kata Sairi optimis.

 

Penelitian Risiko Bencana oleh PKSS STIS

PKSS STIS yang digawangi Muhammad Dokhi telah melakukan beberapa penelitian tentang risiko bencana. Studi penelitian yang pernah dilakukan bersama Hamonangan Ritonga, Ketua STIS memberikan hasil bahwa 56,74 persen kabupaten-kabupaten di Indonesia berada pada kategori tingkat kerentanan sosial level menengah.

PKSS STIS juga membentuk Index Social Vulnerability (SOVI). Hasilnya, sepuluh kabupaten memiliki SOVI yang tinggi (kerentanan sosial tinggi), termasuk Pidie Jaya dengan nilai SOVI 1,53. “Penghitungan SOVI menggunakan data tahun 2010. Mengingat pada 2016 Pidie Jaya mengalami gempa yang sangat kuat, berarti kalau SOVI dihitung lagi, mungkin SOVI di Pidie Jaya akan jauh lebih tinggi,” ujar Tiodora Hadumaon Siagian, salah satu peneliti di PKSS STIS. Penelitian PKSS selanjutnya adalah peranan modal sosial dalam kesiapsiagaan bencana. Direncanakan hasilnya akan dipaparkan dalam TWINSEA Workshop yang diselenggarakan LIPI dan United Nations University Institute for Environment and Human Security pada Maret 2017.

-Kunti; disarikan dari IWoDS-

 

Sumber : Varia Statistik Februari 2017