“BPS sedari dulu kerjanya sudah nyata, harus lebih terarah lagi sehingga menghasilkan kepercayaan luar biasa,” Kepala BPS Suryamin
Stop! Stop! Satu data yang sekarang kita pakai, BPS.” Kalimat ini akan terus terngiang di telinga sebagian besar pegawai BPS. Kalimat dari orang nomor satu di Indonesia ini memang singkat, namun sarat akan makna yang dalam dan kompleks bagi BPS. Berbagai tanggapan pun mulai berdatangan. Dari luar BPS banyak yang menyambut positif hal ini, bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) langsung merespon dengan merancang program Satu Data Indonesia dalam anggaran tahun 2017. Kementerian dan lembaga lainnya juga tentu sumringah mendengar kabar baik ini, di samping akan memperingan tugas mereka, kualitas pendataan dan metodologi yang dilakukan BPS sudah tentu menjadi jaminan mutu. Lalu bagaimana dengan para pengguna data dan masyarakat umum? Sudah tentu akan merasakan dampak positifnya, mereka tidak perlu repot-repot lagi kesana-kemari untuk mendapatkan informasi, cukup datang ke BPS, baik langsung maupun secara virtual.
Lalu bagaimana tanggapan di publik BPS sendiri? Pro kontra bermunculan. Di satu sisi para kaum positif menganggap ini sebagai apresiasi tertinggi yang dapat diraih, kepercayaan tinggi yang memang sudah seharusnya diberikan kepada BPS sejak dulu. Namun di sisi lain, para kaum (katakan) realis menganggap perihal satu data masih merupakan keniscayaan. Bukan berarti BPS tidak mampu menjadi satu-satunya penyedia data, tapi bisa jadi karena dibutuhkannya proses yang sama sekali tidak mudah dalam pemenuhannya. BPS dan kementerian/lembaga harus duduk bersama membahas mana-mana saja yang menjadi kebutuhan suplai data sekaligus mengaitkannya dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, yang sampai saat ini masih menjadi aturan tertinggi di negara ini mengenai perstatistikan.
Ditemui di ruang kerjanya, Kepala BPS Suryamin menyebut pernyataan dari Presiden Jokowi sebagai suatu bentuk pengakuan keberhasilan kepada BPS. “Kita sudah melakukan apa yang digariskan pemerintah, sudah ada sign kita diapresiasi, tapi perjalanan kita masih panjang. Banyak yang masih harus dibenahi,” ujar Suryamin. Terlebih jika dikaitkan dengan Perayaan Hari Ulang Tahun ke-71 Kemerdekaan Republik Indonesia yang mengambil tema “Kerja Nyata”, dengan gamblang Suryamin mengakui sudah sangat searah dengan budaya kerja di instansi yang dinaunginya. “BPS sedari dulu kerjanya sudah nyata, harus lebih terarah lagi sehingga menghasilkan kepercayaan luar biasa,” ujarnya yakin.
Apresiasi ini menurut Suryamin juga berdampak terhadap tingkat kepercayaan yang meningkat dari pemerintah terhadap BPS. Suryamin bercerita pasca rilis angka kemiskinan, 18 Juli lalu. Tidak lama setelah angka keluar, Presiden Jokowi pun langsung menghubungi Suryamin secara pribadi. “Presiden setelah rilis iya aja, nggak minta tolong kemiskinan diturunin. Benar-benar jadi rujukan. Kita masih bisa bekerja tanpa ada yang mengatur dari luar,” ujar Suryamin lega. Namun Suryamin menjamin kalau itu bukan akhir dari pekerjaan besar BPS, karena ke depannya masih banyak tantangan yang harus dihadapi. “Karena ada lima target pembangunan yang selalu diulang-ulang presiden. Semua kerja, kerja, kerja harus mengarah ke pertumbuhan ekonomi yang meningkat, harga atau inflasi yang terkendali, harus menurunkan kemiskinan, harus menurunkan pengangguran, memperkecil gap gini ratio. Kelima indikator ini adanya di BPS, yang hitung BPS,” Kepala BPS mengingatkan.
Beratnya tugas ke depan ini yang membuat BPS harus lebih terarah lagi. Apalagi ketika perhatian banyak orang semakin hari semakin tinggi kepada BPS dan data yang dihasilkannya. Sebagai contoh ketika rilis kemiskinan kemarin dimana angka kemiskinan Provinsi DKI Jakarta yang naik dan memancing Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sedikit mengkritisi metode penghitungan angka kemiskinan BPS. “Kalau saya sih senang, orang mengkritisi kita. Berarti kita diamati dan ditunggu. Kalau konsep kita sudah benar, kita bertahan, tapi bagaimana kita menjelaskannya tidak dengan arogan,” pendapat Suryamin.
Lalu pertanyaan ke depan yang juga mengemuka adalah sejauh mana kesiapan BPS dalam menghadapi tantangan (apabila tidak mau dibilang beban) “Satu Data”, terlebih BPS merupakan instansi vertikal dengan 513 satker. Tentunya kesiapan itu semestinya tidak hanya datang dari komitmen para pimpinan di Pasar Baru saja, namun juga menyeluruh ke segala jenjang yang ada. Terlepas dari itu, Suryamin meyakini kesiapan jajarannya dalam menghadapi tantangan ini. “Sudah, di pusat kita sudah koordinasi dengan K/L, di daerah dengan pemda, gubernur, atau bupati. Itu yang selama ini berjalan,” terangnya. Walaupun hal ini mengindikasikan bahwa selama ini hubungan kerja sama yang terjalin masih sebatas business as usual, dibutuhkan inovasi yang lebih agar dapat mengarahkan BPS sebagai satu-satunya rujukan dalam pembangunan bangsa.
Berkembangnya wacana “Satu Data” memang mengundang banyak pendapat. Apakah BPS mampu dan siap sebagai penyedia satu-satunya data? “Walaupun sudah secara serempak pusat dan daerah berkoordinasi, tapi itu belum cukup. Apalagi ditambah dengan instruksi presiden, semua harus ke BPS. Ini harus dibenahi, harus didiskusikan yang mana, kalau semua ke kita, kita belum tentu mampu,” akunya. Suryamin pun mengajak seluruh jajaran BPS dan stakeholders untuk kembali melihat ke hulu, yaitu Undang-Undang Statistik Nomor 16 Tahun 1997. “Kita harus mengacu kepada UU Statistik,” ujar Suryamin simpel.
Dalam UU Statistik kita sudah tahu bahwa ada tiga jenis statisik yang diatur di dalamnya, Statistik Dasar, Statistik Sektoral, dan Statistik Khusus. Aturan inilah yang menurut Suryamin harus menjadi bahan acuan, bukan hanya untuk BPS sebagai penyelenggara perstatistikan nasional saja, namun juga harus dimengerti oleh pemerintah sebagai stakeholder dan terinformasikan ke masyarakat. “Data dasar yang sepertinya belum semua K/L memahami. Data tersebut sudah ada di BPS,” aku Suryamin. Sosialisasi mengenai UU Statistik menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus direncanakan ke depannya menurut Suryamin. “Saya ingin merencanakan untuk mengumpulkan seluruh sekjen untuk memaparkan seluruh data di BPS. Kalau ada di sini (BPS, red) nggak usah bikin lagi,” menurutnya.
Statistik dasar tidak hanya tiga sensus besar yang dilakukan secara nasional, namun juga terdiri dari berbagai survei besar berskala nasional yang diselenggarakan BPS. Dari sana kita sudah dapat membayangkan seberapa banyak data yang dihasilkan. Masalahnya apakah stakeholders aware terhadap data dasar yang dipublikasikan oleh BPS? Hal ini menuntun kita ke salah satu tahapan kegiatan statisik yang penting, namun acapkali tidak diprioritaskan yaitu Diseminasi Statistik.
Kemudian data sektoral. Menurut UU, statistik sektoral diselenggarakan oleh instansi pemerintah sesuai lingkup tugas dan fungsinya, secara mandiri atau bersama dengan BPS. Kebutuhan data sektoral memang mutlak datang dari instansi terkait, namun tetap hal ini mesti dikoordinasikan dengan BPS, sebagai badan yang ditunjuk UU untuk menyelenggarakan statistik nasional. “Data sektoral kalau dikekitakan (BPS, red) seluruhnya, saya nggak akan jamin kita akan mampu. Duduk bersama apa saja data sektoral yang nggak ada di data dasar. Angkanya hasil akhirnya nanti yang meng-endorse BPS,” ujar Suryamin.
Lebih lanjut Kepala BPS menekankan mesti ada tindak lanjut pembenahan pada ketiga data yang dijelaskan di UU Statistik tersebut. “Data khusus okelah, tapi yang dua data ini (dasar dan sektoral, red). Karena dianggapnya semua harus minta ke BPS. Apalagi pengumpulan data yang sangat spesifik, ga mampu kita, khawatirnya semua orang berpikir semua ada di BPS,” ujarnya. “Sirusa (Sistem Rujukan Statistik, red) kita juga harus disempurnakan, dimana semua yang melakukan survei dan penelitian harus dilaporkan ke kita. Itu masih belum sepenuhnya berjalan juga,” aku Suryamin.
Menyambung dengan tema “Kerja Nyata” HUT Kemerdekaan ke-71 RI, peningkatan nyata yang harus ditawarkan BPS sudah tentu berhubungan dengan kualitas data dan pelayanan data kepada publik. Dari kualitas data, BPS tidak hanya dituntut untuk menyediakan data yang akurat, relevan, akuntabel, atau kekinian saja, namun varian data yang mencakup berbagai bidang dan spesifik menjadi demand yang tidak akan mudah untuk dipenuhi. “Ini panjang, kalau dijabarkan lagi kualitas data ini rentetannya mulai dari persiapan, penentuan variabel, desain kuesionernya, pelatihan, dan rekrutmen. Ini kalau sudah masuk ke situ, lumayan berat. Rekrutmen petugas luar BPS belum tentu kualitasnya sesuai harapan kita, ini harus ditata lebih baik lagi,” ujar Suryamin.
Suryamin menekankan bahwa ke depannya BPS tidak hanya bisa berpatokan pada business as usual, atau kerja seselesainya saja. “Dalam era keterbukaan yang sekali merdeka, merdeka sekali, pekerjaan kita yang hanya asal selesai sudah tidak bisa lagi. Orang bisa menilai petugas BPS kaya apa, pada saat petugas kita kurang meyakinkan yang protes responden sendiri,” terangnya. Khusus mengenai tampilan petugas, Suryamin berpesan agar ini menjadi perhatian BPS, terutama di kabupaten/kota, karena lewat petugaslah imej BPS terbentuk di benak masyarakat. “Impian saya nggak ada kritikan yang fundamental, kok petugas bapak nggak bonafit, makanya harus elit dan meyakinkan. Field operation juga pekerjaan kita. Kita yang dikritik walaupun yang diturunkan orang lain (mitra, red),” lanjut Suryamin.
Kualitas data mengandung makna serentetan aktivitas. Suryamin juga menegaskan bahwa saat ini BPS berada dalam tahapan pembenahan sistem statistik, salah satunya lewat program STATCAP-CERDAS. “Itu PR yang belum kita selesaikan dan akan merubah proses kegiatan statistik menjadi lebih terintegrasi. Kalau itu kita benahi, SDM juga disempurnakan, tidak tertutup kemungkinan organisasinya tidak seperti ini. Bisa berubah sesuai dengan tuntutan. Efektivitas pegawainya ditata lagi, cara kerjanya, untuk efektif dan efisien,” jelasnya. Optimisme muncul ketika berbicara mengenai SDM yang ada di BPS. Walaupun sampai saat ini BPS belum menerima pegawai baru lewat jalur CPNS, namun lulusan dari jalur STIS tetap mengalir setiap tahunnya. “Secara umum SDM di BPS sudah mumpuni. Tinggal kita tunggu proyek STATCAP Paket 3, bagaimana rekrutmen, distribusi, pembinaan, mutasi promosi, dan pola karier harus disempurnakan lagi,” ucap Suryamin.
Seperti yang sempat disinggung di atas, pelayanan publik menjadi salah satu hal krusial yang terkadang terkesampingkan. Keluhan-keluhan agak sulitnya mendapat data BPS menjadi permasalahan klasik yang hampir menjadi langganan masukan dari para pengguna data. Website BPS memang sudah cukup mumpuni, apalagi baru-baru ini dipredikatkan sebagai salah satu Top 99 Inovasi Pelayanan Publik yang dikeluarkan oleh Kementerian PAN dan RB, namun apa artinya jika website yang lengkap berisi data strategis itu tidak tersosialisasikan. “Sudah tidak zaman lagi, data ditaruh di laci, sudah dipublikasi kita tenang leha-leha, kegiatan selesai, anggaran terserap. Kita buka sekarang walaupun ada aturan mainnya,” imbau Suryamin. Sosialisasi lewat tatap muka langsung dengan pengguna data seperti lewat pameran-pameran agaknya mesti dijadikan sesuatu yang intens, baik di level pusat terlebih daerah.
Sumber: Varia Statistik Agustus 2016