Indahnya Menbangun Komitmen

Admin RB BPS Pusat | 15th February, 2016

Di sebuah unit kerja, terbangunlah kisah sepasang muda-mudi yang baru saja menyelesaikan perkuliahannya di kampus yang konon dikenal sebagai kampus biru. Gedung biru, seragam biru, juga kerudung biru. Kisah yang baru terjalin selama dua bulan ini, mungkin cukup membuat “iri” teman-teman seangkatannya. Meski tampak malu-malu dan membatasi jarak pandang, sangat jelas kalau mereka saling mengasihi. Maklumlah dalam kamus agama mereka, berpacaran tidak disarankan. Maka sebelum ditempatkan di daerah, yang bisa jadi nun jauh di sana, dua insan yang sedang dimabuk asmara ini memutuskan menikah meski usianya baru menginjak 21 tahun. Apa yang menguatkan hubungan ini? Komitmen, begitu alasannya. Komitmen juga yang membuat niat dan langkah menjadi ringan; tanpa takut kehilangan, ancaman, atau menjadi beban.

 

Menguji Komitmen dan Konsisten Kita

 

Banyak orang yang mengkaitkan komitmen adalah “saudara kandung” dari konsisten. Bahkan tidak sedikit pula yang kerap salah menempatkan kata-kata itu dalam kehidupan sehari-hari. Bila merujuk pada arti bahasa, komitmen dan konsisten memang memiliki dua makna  yang berbeda. Komitmen diartikan sebagai sesuatu yang harus dipenuhi atas apa yang telah dijanjikan. Namun ada juga yang mengatakan komitmen lebih kepada hasil kesepakatan bersama yang kemudian menjadi semacam ‘aturan’. Sementara konsisten diartikan sebagai upaya yang terus-menerus dilakukan/tidak berubah. Akan tetapi jika dua kata ini dipadukan, ‘khasiatnya’ akan sangat luar biasa. Seseorang yang punya komitmen tinggi, maka dia akan konsisten menjaga komitmennya. Seperti yang terjadi pada sahabat saya, sebut saja namanya Layla.

Seperti biasa Layla selalu bangun pagi sebelum azan subuh berkumandang. Komitmennya setiap hari adalah menghasilkan lima halaman tulisan untuk dilombakan dalam kompetisi penulisan novel. Layla berharap kelak ia bisa menjadi penulis terkenal seperti kakaknya. Namun kabar sunyi menghampirinya, tulisan yang dibuatnya tidak menjuarai satu kategori apapun. Lalu bagaimana dengan semangat Layla? Layla masih tetap konsisten menyelesaikan lima halaman setiap harinya.   

Pun demikian dalam pekerjaan. Komitmen yang dibuat di awal kepemimpinan seseorang, seyogyanya tidak diacuhkan begitu saja ketika pemimpin itu tidak lagi menjabat di unit kerjanya. Dengan kata lain, kita melakukan apa yang telah ditetapkan ‘hanya’ ketika sang pimpinan itu ‘ada’. Padahal bisa jadi aturan itu bermanfaat, membentuk disiplin, serta menciptakan lingkungan kerja yang nyaman.

Belum lama ini, saya teringat oleh pengalaman seorang teman. Di sebuah kereta commuter line jurusan Bogor-Jatinegara, sebut saja Dodi dan Syahrul, mereka saling menyapa. “Hai, apa kabar? Kenapa ndak pake seragam, ini kan hari Senin?,” tanya Dodi mengawali perbincangan. “Iya nih mumpung pimpinan gue lagi ke daerah, ndak papalah. Lagian juga ga pernah ada sidak kok?” Uups, Dodi pun hanya tersenyum.

Kisah komitmen juga datang dari seberang unit kerja. Jika sebelumnya jarang menggunakan seragam, kini, karena pemimpinnya baru dan dikenal berdisiplin tinggi, seluruh pegawai di unit kerja itu serempak teratur memakai seragam setiap hari Senin dan Kamis. Hmmm.., mungkin sebelum ditegur kali ya?? Lain lagi cerita tentang komitmen dari atasan saya. Dulu, menurutnya, pegawai masih patuh memakai sandal jika hendak ke toilet gedung 1 lantai 1. Akan tetapi ketika Sang Pemimpin itu tidak lagi di gedung yang sama, banyak pegawai di unit kerja itu mengabaikannya. Sepatu kotor pun dihantam masuk ke dalam dan merusak kebersihan toilet. Mirisnya, Sang Atasan itu pernah mendapatkan komentar dari salah seorang staf, “Sudah Bu, masuk saja, kan Si Ibu sudah ga ada lagi!” Sang Atasan pun hanya menghela nafas mendengarnya.

Dari kisah di atas, adakah yang salah dari ditetapkannya aturan itu? Bukankah pemakaian seragam adalah sebuah aturan kepegawaian yang seyogyanya dipatuhi? Lalu apakah menjaga kebersihan toilet hanya milik cleaning service saja? Pernahkan kita bertanya pada diri sendiri bahwa menciptakan lingkungan kerja yang nyaman butuh komitmen bersama dan konsistensi yang tinggi. Di sinilah, pada tataran kehidupan sehari-hari, komitmen dan konsistensi kita diuji.

Sebuah pepatah mengatakan “Seseorang yang menjalani hidup tanpa komitmen dan konsistensi tidak akan pernah sampai pada tujuannya. Sementara seorang yang menjalani hidup dengan komitmen dan konsistensi, suatu hari kelak pasti akan sampai pada apa yang ditujunya.”

 

Sumber: Varia Statistik, Feb 2016