Menanggalkan Gratifikasi

Admin RB BPS Pusat | 15th December, 2015

Hampir setiap hari topik korupsi menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Namun pada umumnya masyarakat lebih sering memahami bahwa findak korupsi berupa perbuatan yang merugikan keuangan negara semata. Padahal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), ada sebanyak tiga puluh pasal jenis dan definisi korupsi yang dibagi menjadi tujuh kelompok tindak pidana, yaitu: kerugian keuangan negara; suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; dan gratifikasi.

 

Gratifikasi: Pemberian Setelah Terlaksana

Begitu juga dengan gratifikasi, sebagai bagian tindak korupsi, masyarakat lebih mengetahui gratifikasi hanya merupakan pemberian dalam bentuk uang atau barang secara langsung. Sejatinya, menurut penjelasan Pasal 12 B ayat (1) UU Tipikor, yang dimaksud gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Tak terkecuali, pembayaran kembali/komisi/ refund dalam pengadaan barang dan jasa (kickbacks). Segala tindak grafifikasi tersebut berlaku baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri serta baik dilakukan dengan menggunakan sarana non elektronik atau elektronik.

 

Selanjutnya, tindak gratifikasi juga sering dianggap sama dengan tindak suap-menyuap. Padahal suap dan gratifikasi ilegal dapat dibedakan pada tempus (waktu) dan intensinya (maksudnya). Jika dalam gratifikasi ilegal, pemberi gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya (setelah terlaksana) suatu tindakan resmi. Sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud untuk mempengaruhi (sebelum terlaksana) suatu tindakan resmi. Lebih lanjut, gratifikasi baru dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana suap, apabila: Pertama, nilai gratifikasi mencapai Rp10.000.000 atau lebih; penerimaan gratifikasi tersebut dalam tenggang waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi tidak dilaporkan kepada KPK; dan gratifikasi yang tidak dilaporkan tersebut dianggap sebagai tindak pidana suap.

 

Peraturan Gratifikasi

Suatu adagium hukum yang berbunyi "corruptissima republica plurimae leges" yang berarti bahwa "semakin korup sebuah republik, maka semakin banyak undang-undang peraturan". Mengingat, masih tingginya kejadian dan dampak negatif dari korupsi dalam hal ini gratifikasi apalagi bagi PNS dan pengambil kebijakan pembangunan bangsa, maka pemerintah terus berupaya menetapkan peraturan demi peraturan untuk mencegah tindak gratifikasi bagi aparatur sipil negara. Lalu apa saja peraturan tentang gratifikasi yang telah ditetapkan pemerintah bagi PNS dan secara khusus bagi pegawai BPS? Setidaknya penulis telah menemukan tujuh peraturan terkait sebagai berikut:

 

Pertama, Pasal 4 angka 8 PP Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS. "Setiap PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/ atau pekerjaannya"; Kedua, BAB lll angka 5 Perka BPS Nomor 6 tahun 2015 tentang Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan di lingkungan BPS. "Setiap pejabat atau pegawai BPS dilarang menerima, memberi, menjanjikan hadiah (cinderamata) dan/ atau hiburan (entertainment) dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan kedudukannya, termasuk dalam rangka hari raya keagamaan, atau acara lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Ketiga, Sumpah/Janji Jabatan PNS. "Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya". Keempat, Pasal 2 Perka BPS Nomor 178 tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di lingkungan BPS. "Setiap pegawai BPS tidak menerima/memberikan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya." Kelima, Butir 2 Pakta Integritas. "Tidak meminta atau menerima pemberian secara langsung atau tidak langsung berupa suap, hadiah, bantuan atau bentuk lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku". Keenam, Edaran Pimpinan KPK No. 13.143/01-13/01/2013 tanggal 21 Januari 2013 perihal Himbauan Terkait Gratifikasi. Dan yang terakhir, Edaran Irtama BPS Nomor 08000.019 tanggal 17 Maret 2014 perihal Gratifikasi dalam Pelaksanaan Tugas Audit. " ...meminta kepada seluruh satuan kerja tidak memberikan uang dan/ atau barang (termasuk fasilitas dan biaya akomodasi) yang dapat dan/atau patut diduga sebagai gratifikasi kepada auditor dan evaluator pada setiap penugasan kegiatan pengawasan..."

 

Tak dapat dipungkiri bahwa gratifikasi sudah semacam menjadi budaya dalam konteks kolegial dan kekerabatan. Karenanya, dalam penegakkannya tidak serta merta mudah dilakukan secara konsisten meskipun berbagai peraturan gratifikasi ini telah ditetapkan.

-Bayu Sulistomo, Staf Subbagian Kepegawaian dan Hukum BPS Provinsi DI Yogyakarta-